Release Media Front Perjuangan Rakyat (FPR) NTB, 10 tahun berjuang bersama Rakyat

aksi-hari-tani-ntb-oe3l4p-prvRelease Media Front Perjuangan Rakyat (FPR) NTB

10 TAHUN FRONT PERJUANGAN RAKYAT (FPR) BERJUANG BERSAMA RAKYAT
PERKUAT PERSATUAN RAKYAT MELAWAN SKEMA NEOLIBERAL IMPERIALISME AS DAN TOLAK PERTEMUAN IMF PADA BULAN OKTOBER DI DENPASAR BALI, LAWAN SELURUH SKEMA POLITIK UPAH MURAH DAN RA-PS JOKOWI-JK, SERTA MONOPOLI TANAH OLEH TAMAN NASIONAL, KPH, PERTAMBANGAN, DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PARIWISATA DI NTB.

 

Selamat memperingati Hari Buruh Sedunia,
Hari Buruh adalah momentum sejarah perjuangan kelas buruh melawan tindasan jam kerja. Peringatan tanggal 1 Mei menjadi peringatan Hari Buruh Sedunia ditandai dengan kemenangan perjuangan kelas buruh menuntut pemberlakuan jam kerja selama 8 jam kerja dalam sehari yang selanjutnya menjadi acuan penetapan jam kerja buruh hingga saat ini. Keberhasilan kemenangan perjuangan kelas buruh tersebut tidak lantas menghapuskan segala mancam bentuk tindasan yang dialami oleh kelas buruh. Sampai dengan saat ini, situasi penghidupan kelas buruh semakin merosot yang diakibatkan oleh kebiakan neoliberal yang dijalankan oleh sistem capital monopoli yang telah melahirkan kerisis akut yang kian hari kian memburuk.
Krisis over produksi yang dialami oleh negeri-negeri Imperialis sejak tahun 2008 terus memburuk hingga melahirkan krisis Finansial yang telah memperburuk situasi penghidupan rakyat. Untuk keluar dari situasi krisis yang semakin buruk maka negeri-negeri Imperialis tersebut memperburuk situasi penghidupan rakyat utamanya kelas buruh dengan melakukan pemutusan-pemutusan kerja sepihak serta pencabutan subsidi-subsidi public untuk mengurangi cost produksi yang harus dikeluarkan hal ini selanjutnya berdampak pada semakin meningkatnya pengangguran, kemiskinan, dan kehancuran tenaga produktif.
Selain itu, negeri-negeri Imperialis juga terus mengkonsolidasikan Negara-negara jajahan dan setengah jajajahan terbelakang melalui skema-skema kerjasama baik multilateral maupun bilateral dalam rangka memindahkan beban krisisnya terhadap negeri-negeri jajahan setengah jajahan terbelakang dengan instrument utamanya yaitu IMF, WTO dan World Bank. Kerjasama-kerjasama tersebut berupa kerjasama politik, ekonomi, kebudayaan dan bahkan militer dalam berbagai kedok. Esensinya dari kerjasama-kerjasama tersebut tidak lain adalah untuk meningkatkan eksploitasinya atas sumber-sumber kehidupan rakyat dalam rangka mendapat pasokan bahan mentah secara murah dan bahkan gratis, pasokan tenaga kerja yang siap dibayar dengan murah, pasar hasil produksi yang menjanjikan dan sasaran ekspor kapital baik dalam bentung hutang maupun investasi.
Jokowi sebagai rezim boneka Imperialis di dalam negeri dalam tiga tahunya telah membuktikan kesetiaanya untuk menjalankan semua skema neoliberal ala Imperialisme di dalam negeri melalui berbagai kebijakan populisnya yang esensinya adalah menjalankan politik Upah murah dan mengintensifkan monopoli tanah sebagai basis ekonomi bagi sistem kapital monopoli di negeri Setengah Jajahan Setengah Feudal seperti Indonesia.
Politik upah murah Jokowi tercermin di dalam pemberlakuan PP no. 78 taun 2015 yang memastikan bahwa kenaikan upah buruh tidak boleh lebih dari 10 persen tiap tahunya ditengah biaya kebutuhan hidup justeru meningkat. Selain itu politik upah murah jokowi juga dilakukan dengan cara menghilangkan akses rakyat atas alat produksinya melalui perampasan dan monopoli tanah sehingga menciptakan pengangguran yang merupakan cadangan tenaga kerja semakin tertumpuk dan siap untuk dimobilisasi menjadi tenaga kerja yang bersedia untuk dibayar dengan upah yang sangat murah.
Massa-Aksi-FPRMonopoli dan perampasan tanah terus berjalan sangat intensif untuk kebutuhan perkebunan sekala luas, Pertambangan Besar, Infrastruktur, kawasan pariwisata, Taman Nasional dan KPH bersamaan dengan kebijakan ilusif jokowi tentang Reforma Agraria yang dalam impelemtasinya hanya berbentuk sertifikasi tanah. Sertifikasi tanah sendiri dijalankan oleh Jokowi bersamaan dengan mendekatkan Bank ke pedesaan agar rakyat bisa mengakses hutang untuk modal produksi dengan menjaminkan sertifikat tanah yang dibagikan sehingga rakyat terus terjerat hutang hingga tidak mampu membayar hutang dan tanah kembali di sita oleh Bank.
Perhutanan sosial yang dijalan dalam bentuk Hutan Kelola Masyrakat (HKM), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa, Hutan Adat dan Hutan Kemiteraan adalah skema palsu yang dijalankan jokowi untuk mengintensifkan bisnis karbon sebagai amanat green dan Blue economy ala Imperialis selain itu Perhutanan Sosial juga digunakan sebagai media pengklaiman tanah oleh Negara melalui Taman Nasional dan KPH atas tanah rakyat sehingga rakyat kehilangan haknya atas tanah yang selama ini menjadi sandaran hidupnya dan kemudian harus menjadi buruh tani murah bahkan tanpa di bayar dengan ilusi berladang di antara tanaman-tanaman tegakan yang dikembangkan menjadi komoditas seperti Sawit, Jati, Mahoni, Sonokeling, dll.
Di NTB, TGB sebagai rezim berkuasa selama dua periodenya telah berhasil membuktikan dirinya sebagai pelaksana setia dari kebijakan Neoliberal Imperialis. Pada periode pertamanya TGB berhasil menyuguhkan data-data statistic yang absurd atas kehidupan rakyat dengan menurunkan angka kemiskinan rakyat NTB yang mencapai 21% pada periode gubernur sebelumnya menjadi 15% , yang dilakukan TGB sesungguhnya adalah mengurangi standar hidup layak dari 2 dolar perhari menjadi RP. 350.000/bulan hal inilah yang mengakibatkan hingga dua periode masa jabatanya TGB tidak bisa melakukan penurunan angka kemiskinan secara signifikan sebagaimana yang dilakukan pada periode pertama kepemerintahanya.
TGB juga berhasil mengimpelementasikan program MDGs menjadi program populis di NTB dibawah program 3A (Adono, Akino dan Absano) ala TGB yang juga hanya merupakan program pelaporan staatisktikan semata. Plan MP3EI untuk mepercepat pembangunan pun diimpelementasikan dengan segera oleh TGB dalam bentuk pembagian kawasan pengembangan ekonomi di NTB dengan membagi NTB dalam beberap formasi kawasan pengembangan untuk sector pariwisata mulai dari pembangnan kawasan Mataram Metro, Rasimas, Kawasan Ekonomi Khusus dan SAMOTA.

Sampai akhir 2013, TGB telah berhasil menerbitkan 241 Izin Usaha Pertambangan belum termasuk 2 kontrak Karya untuk PT. NNT dan Sumbawa Timur Mining yang diterbitkan oleh pemerintah Pusat dengan luas total WP adalah 891.590 Ha dengan PT.NNT/ AMNT masih sebagai perusahaan pertambangan dengan penguasaan tanah terbesar yaitu 87.540 Ha. disektor pariwisata TGB mampu mendorong penentapan KEK Mandalika Resort dengan diterbitkannya PP no.52 tahun 2014 yang menyerahkan pengelolaan KEK tersebut kepada PT. ITDC dan termasuk penggusuran rakyat untuk pembangunan DAM pandan Dure di Lombok timur yang diorientasikan untuk pembangkit tenaga listrik bagi pembangunan daerah penopang KEK di Lotim (sepanjang pantai selatan Lotim).
Untuk memuluskan skema monopoli tanah untuk pembangunan dan pengembangan kawasan pariwisata agar tidak mendapatkan penolakan dari rakyat NTB yang notabene adalah masyarakat muslim maka TGB membungkusnya dengan skema populis dibawah paying “Wisata Halal” yang instrumentnya hanya berupa penyediaan penunjuk arah kiblat, tempat ibadah dan label halal bagi makanan dan minuman yang disajikan di tempat-tempat pariwisata.
Intensifnya perampasan tanah tersebut telah berdampak pada semakin merosotnya kehidupan rakyat. dan selanjutnya menjadikan rakyat sebagai cadangan tenaga kerja bagi industry serta proyek-proyek imperialis dengan upah yang sangat rendah. Di NTB uph minimum bagi kelas pekerja hanya mencapai Rp. 1.631.000 meski mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp. 1.482.950 akan tetapi angka tersebut masih sangat jauh dari angka kebutuhan hidup rumah tangga rakyat NTB yang mencapai angka Rp. 5 juta perbulan. Minimnya upah buruh tersebut berakibat pada depisit anggaran rumah tangga kelas buruh yang dipenuhi dengan cara hutang, gadai dan mencari pekerjaaan sampingan termasuk melibatkan anggota keluarganya yang lain untuk memenuhi tuntutan anggaran rumah tangga tersebut. Keadaan buruh tersebut diperparah dengan laju PHK yang semakin besar seperti yang dialami oleh Buruh tambang PT.NNT paska diakuisisi oleh PT. AMNT, tidak kurang dari 1500 buruh dipaksa untuk dirumahkan. Selain itu, buruh pariwisata juga dihadapkan dengan sistem kerja pemagangan dan Training selama 3 bulan dan waktu perpanjangan 3 bulan dengan upah di bahawa UMR bahkan untuk pekerja magang yang disediakan lembaga-lembaga pendidikan seperti SMK atau sekolah vokasi pariwisata perusahaan bisa mendapatkan tenaga gratis selama beberapa bulan waktu magang.
IMG-20180413-WA0027Krisis kronis juga berakibat pada kehidupan kaum tani dimana terus berhadapan dengan ancaman perampasan tanah sehingga berdampak pada terus menciutnya lahan-lahanpertaian rakyat. Dari total 2.015.315 Ha luas daratan NTB 71% diantaranya yaitu seluas 1.436.975,32 Ha telah dikuasi oleh tuan tanah besar berupa KPH (Kesatuan Pengelola Hutan), Taman Nasional, Pertambangan, Perkebunan dan Pariwisata jumlah tersebut masih belum termasuk luas lahan untuk rencana pembangunan infrastruktur seperti pembangunan Global Hub kayangan di Lombok Utara yang direncanakan seluas 7.000 Ha, pembangunan Bendungan Bintang bano, bendungan Tanju dan Mila (Rababaka Komplek) dll serta penguasaan melalui skema kemitraan musiman seperti penananaman tembakau serta kentang dan jagung dalam skema PISSagro. Besarnya luas penguasaan tanah tersebut telah berakibat pada terus menyempitnya lahan pertanian yang bisa dimanfaatkan oleh rakyat NTB, data pemerintah menyebutkan bahwa luas lahan yang dijadikan sebagai lahan pertanian NTB (yang dikuasai dan dimanfaatkan oleh rakyat NTB) Seluas 526.000 Ha yang selanjutnya jika dibagi rata dengan jumlah rumah tangga di NTB sebanyak 1.327.948 KK maka masing-masing rumah tangga hanya menguasai lahan seluas 0,19 Ha (19 Are) jauh lebih kecil dari ketetapan nasional yaitu seluas 0,30 Ha untuk petani Gurem bahkan di Kecamatan sembalun Lombok Timur rasio kepemilikan tanah adalah seluas 0,12 are/kk. Selain minimnya angka kepemilikan tanah, kaum tani juga berhadapan dengan terus mahalnya biaya produksi pertanian di tengah tidak adanya jaminan atas harga hasil produksi pertanian akibat dari monopoli output dan input pertanian. Mahalnya biaya produksi pertanian ditengah hantaman terus meningkatnya harga kebutuhan pokok berakibat pada kemerosotan kehidupan kaum tani dan angka defisit anggaran rumah tangga tani yang terus membesar sehingga untuk menutupi defisit kaum tani harus terjerat hutang kepada tengkulak, periba tingkat desa bahkan Bank yang dideploy masuk kepedesaan oleh Pemerintah dengan kedok membantu kehidupan kaum tani melalui program KUR dan Kartu Tani. Akibatnya kaum tani tidak mampu membayar hutang dan merelakan tanahnya disita oleh lembaga-lembaga periba dan selanjutnya memilih untuk migrasi kerja ke pulau-pulau lain bahkan menjadi buruh migrant di luar negeri.
Selain problem yang dihadapi oleh kaum buruh dan tani tersebut, sektor-sektor rakyat lainnya juga tidak terlepas dari hisapan dan tindasan. Kaum Muda semakin dihadapkan dengan kesuraman hari depanya karena tidak mampu mengakses pendidikan yang layak karena mahalnya biaya pendidikan di tengah harga kebutuhan pokok lainya juga terus meningkat. Di sisi lain massisfnya perampasan tanah dan laju PHK mengakibatkan Pemuda menajadi pengangguran absolute di kota dan desa yang selanjutnya menjadi cadangan tenaga kerja murah untuk kebutuhan proyek infrastruktur maupun dimobilisasi menjadi buruh migrant di luar Negeri. Selain itu, akibat ketidakadaanya lapangan pekerjaan membuat sebagian besar pemuda juga tersesat menjadi kriminal baik di kota maupun di pedesaan.
Kaum Perempuan dengan keterbatasan pendapatan akibat dari massifnya perampasan tanah dan upah yang sangat minim mengakibatkan kaum perempuan juga harus terlibat langsung dalam menafkahi keluarganya ditengah juga harus dibebankan dengan keharusan mengurusi rumah tangga. Di Pabrik perempuan harus bekerja dengan system kerja yang sangat menindas tanpa pemberlakuan cuti haid, hamil dan menyusui, di pedesaan kaum perempuan berhadapan dengan diskriminasi upah buruh tani perempuan yang sangat rendah. Hal inilah yang terus menguatkan sistem kebudayaan Feudal Patriarkal terbelakang yang semakin intensif menindas kaum perempuan.
Massifnya laju perampasan tanah ditengah tidak adanya ketersediaan lapangan pekerjaan membuat semakin besarnya rakyat menggantungkan hidupnya menjadi buruh migrant di luar negeri. Bekerja di luar negeri tidak membuat Buruh Migran hidup sejahtera dan mendapatkan pekerjaan yang layak dan aman, Buruh Migran selanjutnya menjadi sasaran Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi di Negara penempatan, bekerja dengan upah yang tidak layak dengan sama sekali tidak ada jaminan keselamatan. Sepulang kembali ke dalam Negeri, Buruh kembali dihadapkan dengan ketidakadaanya jaminan atas keberlangsungan hidup akibat monopoli tanah dan tidak adanya jaminan atas lapangan pekerjaan membuat Buruh migrant harus kembali lagi mencari kerja ke luar negeri dan begitu seterusnya hingga berkali-kali.
Masifnya laju perampassan tanah di tengah tidakadanya lapangan pekerjaan membuat pelajar dan mahasiswa harus mengenyam pendidikan dengan harga yang sangat mahal karena tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi rakyat. Di lain sisi, Pendidikan selanjutnya menjadi komoditas yang perjual-belikan oleh lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan. Di UNRAM misalnya, dalam satu tahun keuntungan (laba bersih) yang diraup oleh UNRAM dari biaya kuliah yang dikeluarkan mahasiswa bisa mencapai angka Rp. 5 miliar/tahun hanya dari fakultas Hukum saja belum terhitung dari Fakultas-fakultas lain yang jumlah mahasiswanya lebih besar. Selain mahalnya biaya pendidikan, mahasiswa juga dihadapakan pada keadaan tidak adanya jaminan atas lapangan pekerjaan paska mahasiswa hal ini mengakibatkan banya alumni perguruan tinggi yang terpaksa menjadi pengangguran atau bekerja dengan upah yang sangat rendah atau bekerja tidak sesuai dengan kualifiakasi keilmuanya faska menamatkan pendidikanya. Di dalam kampus mahasiswa dipacu untuk bisa segera menamatkan kuliahnya dengan berbagai kebijakan yang sesungguhnya berorientasi untuk menghancurkan karakteristik mahasiswa sebagai intelektual progressif di dalam kampus.
Krisis juga berakibat pada terkomersilkanya sektor-sektor kebudayaan rakyat lainya seperti seni dan Sastra, sehingga kesenian tidak lagi menjadi ekspresi rakyat atas keadaan melainkan menjadi komoditi layaknya komoditas-komoditas lainya sehingga karya seni yang lahir hanya berorientasi pada pasar semata dengan tujuan untuk mengilusi rakyat dan menjauhkan rakyat dari keadaan objektifnya. Selan itu, gerakan-gerakan kesenian progressif juga tidak diberikan ruang untuk mengekspresikan dirinya secara bebas.
Berdasarkan gambaran tersebut, Front Perjuangan Rakyat Nusa tenggara Barat (FPR-NTB) dalam momentum peringatan hari Buruh Sedunia sekaligus peringatan sepuluh tahun FPR berjuang bersama Rakyat menyerukan untuk memperkuat Persatuan rakyat melawan skema neoliberal imperialisme AS dan tolak pertemuan IMF pada bulan oktober di Denpasar Bali, lawan seluruh skema politik upah murah dan RA-PS Jokowi-Jk, serta monopoli tanah oleh Taman Nasional, KPH, Pertambangan, dan pembangunan infrastruktur pariwisata di NTB dengan menuntut :
1. Cabut PP no. 78 karena telah menyengsarakan kehidupan kaum buruh di bawah upah yang sangat rendah di tengah tuntutan ekonomi yang terus meningkat
2. Cabut UUPPMI dan berikan perlindungan sejati bagi buruh migran
3. Cabut UU ORMASS dan berikan kebebasan berorganisasi, berserikat dan berpedapat bagi rakyat sesuai dengan amanat Pasal 28 e UUD 1945
4. Tolak Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karena mengancam hak kritis rakyat
5. Tolak RA-PS Jokowi-JK karena tidak sesuai dengan aspirasi sejati rakyat Indonesia yang menghendaki pelaksanaan Reforma Agraria Sejati
6. Kaji ulang penetapan kawasan TNGR dan TNGT serta KPH di NTB karena telah merampas tanah rakyat
7. Usir PT. Sadhana dan SKE dari tanah rakyat
8. Berikan biaya produksi murah dan jaminan atas harga yang sesuai atas hasil Produksi Pertanian kaum tani
9. Hapus sistem kerja magang dan training bagi buruh pariwisata
10. Berikan jaminan hidup layak bagi keluarga kaum buruh
11. Cabut UUPT no. 12 tahun 2012
12. Hapus sistem BKT/UKT
13. Berikan jaminan pekerjaan yang layak bagi pemuda
14. Berikan jaminan pekerjaan yang layak dan keselamatan bagi buruh migrant
15. Stop diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum perempuan
16. Berikan ruang kebebasan berkespresi bagi pekerja Seni
17. Hentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap rakyat
18. Wujudkan Reforma Agraria Sejati

 

Mataram, 23 April 2018

Front Perjuangan Rakyat -Nusa Tenggara Barat
(FPR-NTB)

 

ZUKI ZUARMAN
Koordinator

About fprindonesia

Front Perjuangan Rakyat (FPR) adalah aliansi organisasi-organisasi masyarakat sipil Indonesia yang pada awalnya dibentuk untuk merespon perayaan Hari Buruh se-Dunia 2008. FPR menyandarkan diri pada prinsip aliansi dasar klas buruh dan kaum tani sebagai komponen pokok perubahan sosial.
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment