Pernyataan Sikap FPR MayDay 2018: Galang Persatuan Rakyat Lawan Kebijakan dan Tindasan Fasis Rezim Jokowi-JK Boneka Imperialis Amerika Serikat

DSC_0842

Salam Demokrasi!

Hari Buruh se-Dunia 1 Mei (May Day) merupakan satu peristiwa bersejarah dalam perjuangan sengit klas buruh melawan klas penghisap dan penindas. Perjuangan tanpa kenal menyerah yang dilakukan jutaan klas buruh saat itu telah memberikan inspirasi bagi seluruh klas tertindas di dunia sampai saat ini.

Buruh dan seluruh rakyat tertindas Indonesia saat ini semakin buruk penghidupannya dan tertindas di bawah cengkraman kuat imperialis Amerika Serikat (AS) melalui kebijakan di bawah pemerintahan Jokowi-JK. Pemerintah terus mengeluarkan regulasi dan aturan yang semakin melayani kepentingan imperialis, khususnya melalui Paket Kebijakan Ekonomi terus digulirkan hingga 16 jilid yang menjadi dasar pelaksanaan skema neo liberalisme.

Bagi klas buruh Indonesia, persoalan upah dan perbaikan kondisi ekonomi dan penghidupan masih menjadi masalah utama. Melalui paket kebijakan ekonomi telah menjadi pijakan lahirnya PP No. 78/2015 tentang Pengupahan. Dengan hanya mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebagai parameter penetapan upah (hanya sebesar 8 persen selama dua tahun berturut-turut) menjadikan defisit upah buruh semakin tinggi saat kenaikan harga terus meningkat. Di Jakarta, upah seorang buruh (UMK Rp3,645 juta) hanya bisa membiayai sekitar 50 persen dari kebutuhan keluarganya (dengan satu anak). Angka defisit itu semakin besar saat kenaikan harga berkali-kali lipat dalam setahun.

Skema kebijakan politik upah murah juga terlihat dalam pemberlakuan kebijakan pengupahan yang demikian, telah mengakibatkan kesenjangan upah antar kota/kabupaten dan provinsi. Ini menjadikan banyak perusahaan besar melakukan ekspansi atau pindah ke berbagai kota/kabupaten lain yang nilai upahnya lebih rendah guna memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar.  Begitu juga, Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi justru mempertahankan fleksibilitas tenaga kerja dengan mempertahankan sistem kontrak pendek bagi buruh, memunculkan skema pemagangan yang melegalkan pengusaha hanya  memberikan upah/uang saku 60-70 % dari upah minimum dengan beban pekerjaan yang sama.

Tak hanya itu, pemerintah Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 20 tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang hakekatnya lebih memudahkan perijinan  TKA untuk kepentingan investasi asing. Rakyat Indonesia tidak lah anti terhadap klas pekerja dari berbagai negeri yang bekerja di Indonesia, tetapi rakyat Indonesia menolak Perpres TKA sebagai produk pelaksanaan skema kapitalis besar monopoli asing yang ingin mengontrol masalah ketenagakerjaan untuk meningkatkan penghisapan atas klas pekerja Indonesia dan juga klas buruh dari negeri-negeri lainnya di Indonesia.

Hasil kerja buruh juga dirampas untuk proyek “strategis nasional”, diantaranya program infrastruktur, melalui penyetoran BPJS Ketanegakerjaan kepada lembaga pembiayaan infrastruktur sebesar Rp 73,25 triliun pada Februari 2018 lalu. Jelas, proyek strategis tersebut bukan lah untuk kepentingan rakyat melainkan kepentingan investor asing yang ingin meraih keuntungan besar dari uang milik klas pekerja.

Proyek strategis nasional telah merampas tanah rakyat secara paksa.  Perampasan tanah juga menjadikan kaum tani, nelayan, suku bangsa minoritas  serta masyarakat luas di perdesaan kehilangan tanah, perkerjaan, dan sumber hidupnya.

Program reforma agraria palsu dan Perhutanan Sosial (RAPS) yang dijanjikan oleh pemerintahan Jokowi sama sekali tidak memiliki syarat untuk membebaskan kaum tani dan rakyat Indonesia dari praktek monopoli tanah. Ia hanya menjanjikan sembilan  juta hektar tanah bagi petani, tetapi terus memberikan dan tetap mempertahankan penguasaan 29 juta hektar tanah kepada perusahaan-perusahaan perkebunan sawit ataupun jutaan hektar lainnya untuk pertambangan skala besar.

Program RAPS Jokowi sesungguhnya adalah skema untuk menjalankan program Land Administration Project (LAP) milik Bank Dunia (WB) untuk penyediaan tanah (Land Bank). Kaum tani semakin  menderita oleh RAPS Jokowi yang menjadikan petani semakin kehilangan tanah, terjerat peribaan yang makin mendalam, dan kemiskinan. Reforma agraria Jokowi tidak memecahkan problem mendasar monopoli tanah sehingga dampaknya adalah tidak pernah ada industri nasional yang mandiri.

Untuk semakin memuluskan skema neo liberalisme imperialis, pemerintah semakin menindas rakyat dengan semakin banyak mengeluarkan aturan dan perundangan yang merampas dan memberangus kebebasan berpendapat, mogok, dan berorganisasi. Beberapa kebijakan fasis yang anti rakyat itu bertujuan meredam dan memukul aspirasi dan gerakan demokratis, diantaranya: UU Ormas, UU MD3, RKUHP, Nota Kesepahaman antara TNI dan Polri dalam menghadapi gerakan massa di kawasan industri, kota dan perdesaan.  Aturan itu semakin membenarkan kekerasan, teror, intimidasi, penangkapan dan pemenjaran terhadap rakyat.

Di tengah keterpurukan hidup buruh dan mayoritas rakyat, rejim Jokowi justru menarik-narik rakyat dalam hiruk pikuk agenda politik nasional, yakni Pilkada 2018 dan Pilpres 2019, untuk menjauhkan rakyat dari problem kongkretnya. Rakyat dipecahbelah dan saling bertentangan untuk mengikuti agenda politik yang hanya menguntungkan borjuasi komprador dan tuan tanah besar. Rakyat dijauhkan dari problem kongkretnya sehingga  jatuh ke dalam ilusi (khayalan) tentang perbaikan nasibnya yang digantungkan pada “elit-elit” politik klas yang berkuasa melalui sistem politik elektoral demokrasi palsu. Demokrasi palsu selama ini tidak memberikan penyelesaian kemiskinanan, upah rendah, kenaikan harga terus menerus, perampasan dan monopoli tanah, pengekangan kebebasan berpendapat dan berorganisasi, meningkatnya isu SARA, dan bergantung pada dominasi imperialisme.  Buruh, tani, dan rakyat miskin hanya dijadikan embel-embel pelengkap “elit-elit” tersebut dan merayu agar menjauhi jalan gerakan massa demokratis yang besar dan luas dan mengikuti skema demokrasi palsu yang tidak demokratis saat ini.

Ketakutan pemerintah terhadap gerakan massa demokratis juga tampak dalam menyikapi May Day 2018 ini. Pemerintah berupaya melakukan pelemahan dan politik pecah belah secara sistematis dengan meluncurkan kampanye “Mayday is Fun Day” sebagai bentuk provokasi dan pelecehan makna Hari Buruh Internasional. Berbagai bentuk intimidasi sebelum Mayday 2018, diantaranya:Di Bekasi,  Kepolisian Resort Kota meminta buruh tidak memobilisasi ke Jakarta.  Di Riau, Aliansi Masyarakat Riau Bersatu mendapatkan intimidasi dan ancaman dari pihak Polres Pekanbaru yang akan membubarkan massa aksi jika tetap akan menggelar aksi. Demikian juga terjadi di Kalbar, Mesuji Lampung, dan Wonosobo.

Berdasarkan pada seluruh kenyataan tersebut, Front Perjuangan Rakyat (FPR) yang merupakan aliansi dari berbagai organisasi massa, dalam peringatan May Day 2018 ini menuntut:

  1. Cabut Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi  dan seluruh aturan dan perundangan  yang mengabdi bagi  pelaksanaan skema neo liberalisme pimpinan imperialis Amerika Serikat; dan Cabut seluruh aturan dan undang-undang yang menindas hak politik rakyat, diantaranya: UU Ormas, UU MD3, RKUHP, dan seluruh kesepakatan (MoU) TNI-POLRI  yang merampas kebebasan buruh, tani, dan seluruh rakyat untuk mogok, berpendapat, dan berorganisasi!
  2. Cabut PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan dan Hentikan seluruh praktek politik upah murah melalui segala bentuk fleksibilitas ketenagakerjaan (dalam bentuk sistem kontrak, outsourcing, “pemagangan”) yang semakin merampas upah buruh, termasuk  Hentikan PHK sepihak  secara semena-mena!
  3. Turunkan Harga kebutuhan pokok dan Turunkan Pajak bagi buruh, petani, dan rakyat miskin!
  4. Hentikan pemberian dan perpanjangan HGU dan HPH kepada perkebunan besar, izin usaha bagi pertambangan besar dan taman nasional; serta berikan tanah tersebut bagi petani dan suku bangsa minoritas yang telah dirampas  lahannya oleh negara dan tuan tanah besar
  5. Hentikan segera proyek reklamasi di Teluk Jakarta dan seluruh penggusuran paksa Proyek Strategis Nasional yang telah menyengsarakan seluruh rakyat!
  6. Hentikan segala bentuk kriminalisasi dan penangkapan terhadap seluruh rakyat yang memperjuangkan hak demokratisnya. Secara khusus, hentikan seluruh kekerasan, teror, Intimidasi, dan Kriminalisasi terhadap rakyat Papua.
  7. Hentikan seluruh intervensi dan perang agresi imperialis Amerika Serikat dan Sekutunya di seluruh negeri, serta menolak kerjasama sama pemerintah Indonesia dengan imperialis yang telah merampas kedaulatan bangsa dan merampok tanah air.
  8. Wujudkan Reforma Agraria Sejati dan bangun industrialiasi nasional yang mandiri dan berdaulat.

Front Perjuangan Rakyat (FPR) juga menyerukan kepada seluruh klas buruh dan rakyat Indonesia agar terus memperkuat persatuan dan perjuangan melawan seluruh kebijakan dan tindasan fasis rezim Jokowi-Jk yang menindas dan membungkam aspirasi rakyat, serta terus membangun kekuatan dengan memperbesar dan memperluas organisasi massa di berbagai sektor demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jakarta, 1 Mei 2018

Hormat kami,

Front Perjuangan Rakyat (FPR)

 

Rudi HB Daman

Koordinator Umum

Front Perjuangan Rakyat (FPR)

Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Serikat Perempuan Indonesia (SERUNI), Pemuda Baru (PEMBARU) Indonesia, Front Mahasiswa Nasional (FMN), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Jakarta Selatan, Jaringan Aksi untuk Perubahan Indonesia (JAPI), Keluarga Besar Buruh Migrant Indonesia (KABARBUMI), Institute for National and Democracy Studies (INDIES), MINERAL7

Kontak Person: Dimas (082227526399)

About fprindonesia

Front Perjuangan Rakyat (FPR) adalah aliansi organisasi-organisasi masyarakat sipil Indonesia yang pada awalnya dibentuk untuk merespon perayaan Hari Buruh se-Dunia 2008. FPR menyandarkan diri pada prinsip aliansi dasar klas buruh dan kaum tani sebagai komponen pokok perubahan sosial.
This entry was posted in Berita, Pernyataan Sikap, Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment